Paradoks Keadilan

Maha adil-nya Tuhan bukanlah sesuatu yang perlu kita ragukan lagi kebenarannya. Semenjak kita kecil guru guru agama dan orang tua kita pasti telah berkali kali menanamkan di pikiran dan hati kita bahwa semua yang terjadi di dunia merupakan kehendak Tuhan dan pasti berdasar pada pertimbangan keadilan. Selalu ada alasan di balik sebuah kejadian.

Ke-mahaadil-an Tuhan pasti berlaku juga atas pertanyaan pertanyaan yang mungkin sering kita ajukan: Mengapa orang yang sangat menginginkan kehidupan justru harus meninggal dini sedangkan orang yang sudah renta dan bosan malah dipanjangkan umurnya (?). Mengapa ada orang yang kesana kemari mencari donor organ dalamnya, sementara di lain sisi ada orang yang (tega) mengakhiri hidupnya sendiri (?). Mengapa ada orang yang untuk makan saja harus memelas bantuan tetangga dan ada pejabat yang sudah kaya raya masih saja memakan uang rakyatnya (?).

Kemudian bila kita runut dari awal mungkin ada sangkut pautnya dengan janji keadilan Tuhan yang lain, bahwa setiap hal selalu datang berdampingan. Kebaikan-keburukan. Pahala-dosa. Anugerah-siksa. Awal-akhir. Dunia-akhirat. Neraka-Surga. Siapa yang menanam, dia yang menuai. Bahwa bila manusia tidak bisa bersikap adil, Tuhan sendiri yang akan turun tangan menegakannya, entah di dunia atau di akhirat kelak

Ada Cinta yang Harus Berbalas

Karena dirasa kebijakan pajak terhadap penulis tidak adil, Tere Liye memutuskan berhenti mencetak dan menerbitkan buku-bukunya. Penulis super produktif ini melakukannya sebagai bentuk protes kepada pemerintah. Tanggapan masyarakat pun beragam. Ada yang pro, tapi banyak pula yang kontra. Pihak yang pro mungkin menganggap masih kurangnya perhatian pemerintah, terutama masalah perpajakan, kepada kesejahteraan penulis. Penulis yang berperan penting dalam meningkatkan minat baca dan kecerdasan bangsa dirasa banyak dirugikan oleh pemerintah lewat pajak yang terlalu besar. Sementara yang kontra barangkali menganggap langkah Tere Liye ini emosional belaka.

Masalah minat baca masyarakat Indonesia yang rendah adalah penyakit kronis negeri ini. Lihat saja di sekeliling kita, berapa banyak orang yang kesehariannya bersentuhan dengan buku. Lihat seberapa banyak orang yang dirumahnya punya lemari buku yang terisi penuh. Lihat di stasiun, terminal, bandara, rumah sakit, dan tempat-tempat “menunggu” lain, berapa banyak orang yang menggunakan waktu menunggu mereka dengan membaca. Jarang! Tidak usah membandingkan dengan negara orang. Kita bercermin saja. Penyebabnya banyak. Selain kurangnya penanaman terhadap minat baca sejak dini, harga buku yang mahal menjadi salah satunya.

Mahalnya harga buku tidak lepas dari tingginya pajak yang dibebankan. Entah kepada penjual, penerbit, juga kepada penulis. Simpelnya, bila penjual, penerbit, dan penulis ingin mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi (setelah dipotong pajak), maka harga jual buku harus lebih tinggi pula.

Jogja - Bab VIII Keraton





Setengah hari terakhir kami gunakan untuk berkunjung ke Kraton.  Meski hanya bisa sampai museum kereta dan   Pendopo Keraton, tapi kita bisa melihat garis besar gambaran keraton.  Jogjakarta merupakan daerah yang dipimpin oleh seorang Sultan dan bentuknya kerajaan.  Hal inilah yang menjadikan Jogjakarta sebagai Daerah Istimewa di Indonesia. 

Meski sejak tahun 1950 Kerajaan Jogja sudah menjadi bagian dari wilayah Negara Indonesia, tata pemerintahan Keraton masih dijalankan dengan baik.  Kepala daerah tidak dipilih oleh rakyat  melainkan secara turun temurun dari keturunan Sultan.  Masa pemerintahannya pun tidak mengikuti aturan seperti di daerah lain yaitu 5 tahun.  Sepanjang Sultan tidak meninggal atau mengundurkan diri, tahta tidak akan berganti.  Konon  sempat ada usulan kalau pemilihan kepala daerah di Jogjakarta diubah seperti daerah lain yaitu dipilih oleh rakyat lima tahun sekali.  Namun hal ini langsung ditolak oleh masyarakat Jogjakarta sendiri.  Masyarakat Jogja lebih memilih kesultanan seperti sekarang dibanding mengikuti sistem seperti daerah lain.

Adanya Keraton, kerajaan, dan tata pemerintahan yang berbeda adalah warisan budaya yang sebaiknya memang kita pertahankan.  Indonesia menjadi lebih kaya dengan adanya Kesultanan Jogjakarta.

30 September- 3 Oktober 2017

Jogja - Bab VII Jogja, Kota yang Tidak Pernah Tertidur



Dua malam di Jogja membuatku sangat-sangat kekurangan tidur.  Betapa tidak, kawasan Malioboro lebih “hidup” pada malam hari.  Para pemuda kebanyakan baru keluar setelah matahari benar-benar tenggelam.   Bila Hollywood  punya Walk of Fame sebagai trotoar paling terkenal, maka Jogjakarta punya Malioboro.  Bukan tempat nama-nama tokoh dunia terpajang, Malioboro merupakan pusatnya orang-orang berkumpul di Jogjakarta.  Kehidupan malam di Malioboro akan menggoda siapa saja untuk tidak tidur hingga pagi menjelang (bukan dari segi negatif seperti clubbing atau berpesta tentunya).  Banyak pemuda pemuda berkumpul malam hari di Malioboro.  Mereka menampilkan karya-karya mereka.  Kebanyakan dalam bidang musik.  Kita bisa menemukan setidaknya  lima grup pemusik jalanan di sepanjang trotoar Malioboro.  Tidak seperti pengamen kebanyakan, para seniman ini benar-benar “niat”.  Mereka membawa sound sistem sendiri.  Di samping itu alat-alat yang digunakan pun tidak melulu gitar dan gitar.  Bermacam alat seperti anglkung, gendang, terompet, seruling, atau alat musik tradisional lain juga mereka bawakan.  Ngobrol dengan teman-teman diiringi alunan musik dari seniman jalanan tentu menjadi hal yang mengasyikkan.  Dan sepertinya hal ini didukung oleh pemerintah.  Terlihat dari adanya petugas yang berkeliaran dan mengamankan area Malioboro.  Tidak ada larangan untuk berkumpul di malam hari dari pemerintah.  Nongkrong di tempat terbuka tentu lebih baik dibanding clubbing dan minum-minum di diskotek atau tempat lainnya.

Satu hal lagi yang membuat aku kagum dengan pemerintah Jogjakarta adalah efektifnya pekerjaan dari petugas kebersihan kota.  Hal ini bisa dilihat ketika malam hampir habis dan sampah menumpuk di sepanjang trotoar, pada pagi hari ketika mencari sarapan, sampah-sampah itu sudah hilang entah ke mana.  Tidak ada yang namanya selokan mampet oleh sampah.

Jogja - Bab VI Macam Macam Turis





Setelah melewati jalan yang di pinggir kanan-kirinya berupa pesawahan, kami tiba di Borobudur.  Pukul setengah 3 sore,  untungnya kami masih dipersilakan untuk masuk.  Berbeda dengan di Prambanan, di Borobudur pengamanannya lebih ketat.  Kami dilarang membawa makanan ke area candi.  Turis yang datang ke sini pun tidak sebanyak turis di Prambanan.  Candi Borobudur adalah candi Budha terbesar di dunia.   Candi ni bahkan masuk Seven wonder-nya dunia.  Satu lagi perbedaan dengan Candi Prambanan, jika Prambanan terdiri dari beberapa candi, Borobudur hanya terdiri dari sebuah candi yang besar dan bertingkat-tingkat.  Kemegahan desain arsitekturnya tidak kalah dengan Candi Prambanan.

Di Borobudur pun tidak sulit menemukan turis-turis dari mancanegara.  Setelah melakukan pengamatan bersama Nyoto terhadap turis-turis di Prambanan dan Borobudur, kami jadi tahu kebiasaan turis turis ini tentang cara berfoto.  Turis Eropa biasanya hanya melakukan beberapa pemotretan dengan objek dirinya atau teman temannya.  Sisanya turis Eropa banyak memotret bangunan candid an keindahan lain.  Turis Asia dan yang berwajah oriental justru sebaliknya.  Mereka banyak sekali melakukan selfie dan memoto dirinya.  Turis lokal beda lagi.  Selain banyak berfoto diri, turis lokal juga banyak (meminta) berfoto dengan bule-bule asing.  Seolah bule-bule itu adalah alien atau lebih unik dari patung-patung candi.  Mending kalau meminta foto dengan memakai bahasa Inggris.  Ini mah….  Dan entah kenapa, tidak hanya di tempat-tempat wisata, bila “bule” melintas, banyak dari orang lokal menatapnya dengan pandangan aneh.  Coba kita bayangkan bila ada orang yang menatap kita dengan pandangan aneh dan menelisik.  Pasti kita akan merasa tersinggung juga.  Bikin malu!

Jogja - Bab V Parangtritis



Hari kedua di Jogjakarta kami memutuskan untuk menyewa motor.  Tempat yang ingin kami kunjungi hari ini adalah Pantai Parangtritis.  Parangtritis sudah masuk kawasan Sleman.  Bus Transjogja tidak lewat jalur ini, dan menurut orang-orang, bus untuk sampai ke tempat ini cukup mahal.  Jadi kami memutuskan menyewa motor.

Pantai Parangtritis termasuk dalam garis Pantai Selatan.  Ombak Pantai Selatan terkenal tinggi dan ganas.  Selain itu laut sedang pasang jadi ada larangan untuk mandi di pantai.  Tapi tetap saja banyak pengunjung yang bandel dan nyebur ke laut.  Ketika kami tiba, tidak banyak wisatawan yang berkunjung di sana.  Selain masih weekday, hari ini pun tidak termasuk musim liburan.

Sebagai orang gunung yang baru menemukan pantai, aku tetap terpesona dengan keindahan Parangtritis.  Ombaknya yang bergulung gulung dan keadaan alam yang masih natural membuat berjalan-jalan telanjang kaki di garis pantainya cukup membuat tenang dan mengusir segala penat dan beban pikiran.  Betah sekali berlama-lama di sana.  Tapi sayang, temanku Nyoto tampak bosan.  Dia merajuk dan segera ingin pergi dari pantai.  Baru tengah hari namun kami akhirnya memutuskan meninggalkan pantai.

Tapi justru karena tidak berlama-lama di Pantai, akhirnya kami jadi punya kesempatan untuk menyebrang ke Jawa Tengah untuk mengunjungi Borobudur.  Perlu dua jam naik motor bagi kami untuk sampai Borobudur.

Jogja - Bab IV Bule di Prambanan


Sampai di tempat penginapan, kami berdua langsung membalas hutang tidur dalam kereta dan tidur yang terganggu oleh bapak yang kehilangan istrinya.  Pukul 9 lebih kami baru bangun dan merumuskan tempat apa saja yang ingin kami kunjungi hari ini.  Prambanan menjadi tempat pertama, alun-alun dan kraton jadi tempat selanjutnya.

Selesai mandi dan bersiap, kami langsung menuju halte untuk menumpang Transjogja.  Perlu sekitar satu jam setengah dari Malioboro menuju Candi Prambanan.  Melewati bandara Adi Sucipto, ditambah berjalan kaki yang cukup jauh dari halte menuju pintu masuk.

Prambanan adalah candi Hindu terbesar di Asia, bahkan mungkin di dunia.  Konon menurut legenda Candi  Prambanan dibangun oleh pangeran Bandung Bondowoso atas dasar permintaan Roro Jonggrang.  Sejarahnya bisa dicari di google.  Yang bikin kita kagum adalah selain bentuknya yang megah, ke-mustahil-an membangun candi candi yang begitu megah dengan teknologi zaman dulu, juga kepada orang-orang yang melakukan pemugaran dan penyusunan kembali setelah puing-puing candi ditemukan.  Pemugaran pertama katanya membutuhkan waktu lebih dari sepuluh tahun.  Tidak aneh melihat bangunan-bangunan candi yang begitu megah.

Ratusan turis yang berasal dari bergai negara bisa dengan mudah kita temui di sana.  Dan yang tidak kalah membuat kagum adalah banyak orang yang menjadi pemandu wisata turis-turis itu, berbicara dengan fasihnya bahasa mereka.  Tidak hanya Bahasa Inggris, para pemandu itu juga berbicara bahasa asing lainnya.  Dengan belasan/puluhan bangunan candi, sulit bagi kami untuk mendatanginya satu per satu.  Kaki kami keburu pegal naik turun tangga candi.

Pulang dari Prambanan kami naik Transjogja lagi, memburu waktu untuk bisa masuk Kraton.  Sayangnya ketika sampai alun-alun, pintu kraton sudah ditutup.  Alhasil kami hanya bisa ngaso di alun-alun Jogja.